Bagaimana rasanya menjadi orang yang paling bisa mengerti
sahabat tercinta?
Tentu indah. Kita yang menjadi
pertama-tama menangkap kilasan cahaya gembiranya, lalu menjadikan hati kita
lensa konkaf untuk menebarkannya. Atau kita juga segera menangkap tebaran
masalah yang menggayuti benaknya, lalu menjadi lensa konveks untuk memberinya
fokus dan orientasi. Dan dibalik lensa itu, kita juga yang pertama-tama akan
menangkap bayangan nyata dari kesemuan-kesemuan tentangnya. Seringkali, itu
membuat kita menangis terlebih dahulu. Bahkan menangis sendirian. Abu Bakar
Ash-Shiddiq pernah merasakannya.
Ketika itu,
Sang Nabi menerima wahyu. Wahyu yang sangat menggembirakan semua sahabat.
Beliau membacakannya dari atas mimbar. “Apabila datang pertolongan Allah dan
kemenangan, dan engkau lihat manusia masuk ke dalam agama Allah dengan
berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabb mu dan mohonlah ampun
kepadaNya. Sesungguhnya Ia adalah Maha Penerima taubat” (Q.S. An-Nashr : 1-3).
Semua
sahabat tersenyum, lega, bahagia, dan penuh syukur. Tapi dari depan mimbar, Abu
Bakar tiba-tiba berteriak dengan gemuruh isak, “Ya Rasulullah, kutebus engkau
dengan ayah dan ibuku!” Dan ia terus menangis. Para sahabat belum pernah heran
akan Abu Bakar sedahsyat hari itu. Mereka menatap tajam ke arahnya dengan mulut
yang tanpa disadari setengah terbuka. Tapi Rasulullah tersenyum padanya.
“Seorang
hamba diminta untuk memilih, antara perhiasan dunia menurut kehendaknya, atau apa yang ada di
sisi Allah. Dan dia memilih apa yang ada di sisi Allah.” Tangis Abu Bakar
semakin keras, terdengar menggigil bagai burung dalam badai, menyesakkan. “Demi
Allah ya Rasulullah, ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu!” ia kembali
berteriak. Hingga, kata perawi hadist
ini, orang-orang bergumam dalam hati, “Lihatlah orangtua ini! Rasulullah
mengabarkan tentang kemenangan dan seorang hamba yang diberi pilihan, tapi dia
berteriak-teriak tak karuan!”
Entah
mengapa, hari itu kebeningan hanya milik Abu Bakar seorang. Ketika para sahabat
bergembira mendengar sabda-sabda Sang Nabi, ia menangkap surah tersebut dan
segala yang beliau katakan sebagai suatu isyarat pasti. Ajal Sang Nabi telah
sangat dekat! Maka ia menangis. Maka ia berteriak. Hanya dia. Hanya dia yang
mengerti.
Rasulullah
masih tersenyum. “Sesungguhnya orang yang paling banyak membela dan
melindungiku dengan pergaulan dan hartanya adalah Abu Bakar,” kata beliau.
“Andaikan aku boleh mengambil kekasih selain Rabb ku, niscaya aku akan
mengambil Abu Bakar sebagai Khaliil-ku.
Tetapi ini adalah persaudaraan Islam dan kasih sayang. Semua pintu yang menuju
ke masjid harus ditutup, kecuali pintunya Abu Bakar.”
Maka inilah
Abu Bakar. Seorang yang mata batinnya begitu jernih. Dia yang paling berduka,
menangis, dan histeris ketika Sang Nabi memberi isyarat tentang dekatnya saat
berpisah. Namun disaat kekasih yang dicintainya itu benar-benar pergi , Abu
Bakar menjadi orang yang paling waras, paling tenang, dan paling menentramkan.
Beliau mengingatkan tentang wahyu Allah pada Qur’an Surah Al-‘Imran:144. Abu
Bakar, adalah lelaki yang memberikan cintanya sebagai penawar bagi luka
umatNya. #DDU