Kamis, 19 Februari 2015

Cinta Penawar Luka, Abu Bakar Ash-Shiddiq



Bagaimana rasanya menjadi orang yang paling bisa mengerti sahabat tercinta?
Tentu indah. Kita yang menjadi pertama-tama menangkap kilasan cahaya gembiranya, lalu menjadikan hati kita lensa konkaf untuk menebarkannya. Atau kita juga segera menangkap tebaran masalah yang menggayuti benaknya, lalu menjadi lensa konveks untuk memberinya fokus dan orientasi. Dan dibalik lensa itu, kita juga yang pertama-tama akan menangkap bayangan nyata dari kesemuan-kesemuan tentangnya. Seringkali, itu membuat kita menangis terlebih dahulu. Bahkan menangis sendirian. Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah merasakannya.
            Ketika itu, Sang Nabi menerima wahyu. Wahyu yang sangat menggembirakan semua sahabat. Beliau membacakannya dari atas mimbar. “Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau lihat manusia masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabb mu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Ia adalah Maha Penerima taubat” (Q.S. An-Nashr : 1-3).
            Semua sahabat tersenyum, lega, bahagia, dan penuh syukur. Tapi dari depan mimbar, Abu Bakar tiba-tiba berteriak dengan gemuruh isak, “Ya Rasulullah, kutebus engkau dengan ayah dan ibuku!” Dan ia terus menangis. Para sahabat belum pernah heran akan Abu Bakar sedahsyat hari itu. Mereka menatap tajam ke arahnya dengan mulut yang tanpa disadari setengah terbuka. Tapi Rasulullah tersenyum padanya.
            “Seorang hamba diminta untuk memilih, antara perhiasan dunia  menurut kehendaknya, atau apa yang ada di sisi Allah. Dan dia memilih apa yang ada di sisi Allah.” Tangis Abu Bakar semakin keras, terdengar menggigil bagai burung dalam badai, menyesakkan. “Demi Allah ya Rasulullah, ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu!” ia kembali berteriak.  Hingga, kata perawi hadist ini, orang-orang bergumam dalam hati, “Lihatlah orangtua ini! Rasulullah mengabarkan tentang kemenangan dan seorang hamba yang diberi pilihan, tapi dia berteriak-teriak tak karuan!”
            Entah mengapa, hari itu kebeningan hanya milik Abu Bakar seorang. Ketika para sahabat bergembira mendengar sabda-sabda Sang Nabi, ia menangkap surah tersebut dan segala yang beliau katakan sebagai suatu isyarat pasti. Ajal Sang Nabi telah sangat dekat! Maka ia menangis. Maka ia berteriak. Hanya dia. Hanya dia yang mengerti.
            Rasulullah masih tersenyum. “Sesungguhnya orang yang paling banyak membela dan melindungiku dengan pergaulan dan hartanya adalah Abu Bakar,” kata beliau. “Andaikan aku boleh mengambil kekasih selain Rabb ku, niscaya aku akan mengambil Abu Bakar sebagai Khaliil-ku. Tetapi ini adalah persaudaraan Islam dan kasih sayang. Semua pintu yang menuju ke masjid harus ditutup, kecuali pintunya Abu Bakar.”
            Maka inilah Abu Bakar. Seorang yang mata batinnya begitu jernih. Dia yang paling berduka, menangis, dan histeris ketika Sang Nabi memberi isyarat tentang dekatnya saat berpisah. Namun disaat kekasih yang dicintainya itu benar-benar pergi , Abu Bakar menjadi orang yang paling waras, paling tenang, dan paling menentramkan. Beliau mengingatkan tentang wahyu Allah pada Qur’an Surah Al-‘Imran:144. Abu Bakar, adalah lelaki yang memberikan cintanya sebagai penawar bagi luka umatNya. #DDU

Senin, 09 Februari 2015

..

 Rintik hujan masih mengetuk lembut diatap. Meski halus yang terdengar, melebur berasa dibawakan udara nan sejuk. Bau tanah yang basah begitu lekat, aroma kamar yang mungkin akan sangat dirindukan. Bersama notebook merah maroon, ditemani secangkir hangat susu coklat, dan musik kesukaan. ia nikmati hidupnya. Tentu dengan limpahan syukur dan cinta. Salah satu cinta yang pernah ia miliki walau dibatas. Dulu pada seorang yang bukan keluarga atau sodara famili. ‘Seorang teman’. Ia tak bermaksud mengakhiri, tidak juga karena pilu atau rapuhnya ia. Tetapi karena takut. Sesuatu yang besar melebihi dari apapun.
Sholihah. Bagaimana menurut mu? Berjilbab? Sholat yang tak luput? Atau tilawah yang merdu?. Tak sekedar, mungkinkah jika itu yang dijadikan cita-cita? siapa pun bisa menjadi sosok yang shalihah. Kapanpun dengan cara apapun pula. Itu suatu proses besar, dimana identitas tak bisa dikembalikan. Menjaga hati, fikiran dan tingkah. Menjaga diri, amalan, juga langkah. Sesuatu yang sulit dipelihara nyatanya.
Haramkah jika muslimah memiliki cinta?
Salahkah jika hatinya berbunga karena ada yang menyiram?
Ia menyadari bahwa hubungan itu membuatnya lain. Merasa tak enak, risih, salah. Teman, seorang yang dikenalnya beberapa tahun silam. Bertemu, menjalin komunikasi dan hubungan yang mungkin akan berarti. Ya mungkin tak ada salahnya dengan masa yang tak singkat. tanpa mempersalahkan perbedaan, tanpa memperpanjang kesalahpahaman, tanpa harus melebih-lebihkan perasaan. karna nyatanya, perasaan yang sederhana itupun mampu membuat perasaan nyaman yang mewah. Ia takut akan Sesuatu.
 “Izinkan aku menjadi muslimah seutuhnya”
Disini, keinginannya memuncak, harapannya benar-benar bulat. Resah ada, bimbang pun hadir. Apa ia akan menyakiti? Apa akan merasa hilang? Apa ini yang seharusnya? Sebuah cinta masih ada untuk seseorang, juga masih untuknya. Dilema yang rentan kali ini. apa salah keinginannya? Tak memerlukan sebab untuk menjawab bukan? Butuh keberanian dan waktu yang cukup lama untuk bisa mengelak dari luka yang mungkin ada.
Tekad itu yang membawanya pada sebuah keputusan. Yang diyakini adalah yang terbaik, yang bukan hanya karenaNya tetapi pula untukNya. Ia mencintai yang memberinya cinta. Yang memberinya pelayaran tak selalu tenang, tapi menyiapkan pelabuhan nan indah. Seorang kekasih hanya ada pada saat  ijab dan qobul berdampingan. Berhadiahkan kekasih yang mengerti, paham jika itulah yang diinginkan oleh Nya. tak ada lagi keraguan mencapai mu’minah sejati. Jauh dari yang keji dan munkar , jauh dari dosa yang akan ditimpakan pada ayah, dan merasa bahagia. katanya, hanya dengan Tuhan lah ia akan berbagi cinta. Benarkah?
Entahlah, tapi memang begitu yang kuketahui darinya. Perjalanan ringan sebuah cinta Lillahita’ala. Seorang yang menegurku didepan kelas waktu itu, itulah yang memang seharusnya ia lakukan. Aku mengerti. Tak seharusnya lagi memandang, walau hanya sebatas penikmat senyuman. Walau hanya sebatas mengagumi, tak sepantasnya berharap yang jauh. Bukankah Tuhan selalu menemani? Memberikan kebahagiaan? Mengirim cinta? :)