Senin, 09 Februari 2015

..

 Rintik hujan masih mengetuk lembut diatap. Meski halus yang terdengar, melebur berasa dibawakan udara nan sejuk. Bau tanah yang basah begitu lekat, aroma kamar yang mungkin akan sangat dirindukan. Bersama notebook merah maroon, ditemani secangkir hangat susu coklat, dan musik kesukaan. ia nikmati hidupnya. Tentu dengan limpahan syukur dan cinta. Salah satu cinta yang pernah ia miliki walau dibatas. Dulu pada seorang yang bukan keluarga atau sodara famili. ‘Seorang teman’. Ia tak bermaksud mengakhiri, tidak juga karena pilu atau rapuhnya ia. Tetapi karena takut. Sesuatu yang besar melebihi dari apapun.
Sholihah. Bagaimana menurut mu? Berjilbab? Sholat yang tak luput? Atau tilawah yang merdu?. Tak sekedar, mungkinkah jika itu yang dijadikan cita-cita? siapa pun bisa menjadi sosok yang shalihah. Kapanpun dengan cara apapun pula. Itu suatu proses besar, dimana identitas tak bisa dikembalikan. Menjaga hati, fikiran dan tingkah. Menjaga diri, amalan, juga langkah. Sesuatu yang sulit dipelihara nyatanya.
Haramkah jika muslimah memiliki cinta?
Salahkah jika hatinya berbunga karena ada yang menyiram?
Ia menyadari bahwa hubungan itu membuatnya lain. Merasa tak enak, risih, salah. Teman, seorang yang dikenalnya beberapa tahun silam. Bertemu, menjalin komunikasi dan hubungan yang mungkin akan berarti. Ya mungkin tak ada salahnya dengan masa yang tak singkat. tanpa mempersalahkan perbedaan, tanpa memperpanjang kesalahpahaman, tanpa harus melebih-lebihkan perasaan. karna nyatanya, perasaan yang sederhana itupun mampu membuat perasaan nyaman yang mewah. Ia takut akan Sesuatu.
 “Izinkan aku menjadi muslimah seutuhnya”
Disini, keinginannya memuncak, harapannya benar-benar bulat. Resah ada, bimbang pun hadir. Apa ia akan menyakiti? Apa akan merasa hilang? Apa ini yang seharusnya? Sebuah cinta masih ada untuk seseorang, juga masih untuknya. Dilema yang rentan kali ini. apa salah keinginannya? Tak memerlukan sebab untuk menjawab bukan? Butuh keberanian dan waktu yang cukup lama untuk bisa mengelak dari luka yang mungkin ada.
Tekad itu yang membawanya pada sebuah keputusan. Yang diyakini adalah yang terbaik, yang bukan hanya karenaNya tetapi pula untukNya. Ia mencintai yang memberinya cinta. Yang memberinya pelayaran tak selalu tenang, tapi menyiapkan pelabuhan nan indah. Seorang kekasih hanya ada pada saat  ijab dan qobul berdampingan. Berhadiahkan kekasih yang mengerti, paham jika itulah yang diinginkan oleh Nya. tak ada lagi keraguan mencapai mu’minah sejati. Jauh dari yang keji dan munkar , jauh dari dosa yang akan ditimpakan pada ayah, dan merasa bahagia. katanya, hanya dengan Tuhan lah ia akan berbagi cinta. Benarkah?
Entahlah, tapi memang begitu yang kuketahui darinya. Perjalanan ringan sebuah cinta Lillahita’ala. Seorang yang menegurku didepan kelas waktu itu, itulah yang memang seharusnya ia lakukan. Aku mengerti. Tak seharusnya lagi memandang, walau hanya sebatas penikmat senyuman. Walau hanya sebatas mengagumi, tak sepantasnya berharap yang jauh. Bukankah Tuhan selalu menemani? Memberikan kebahagiaan? Mengirim cinta? :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar